Cerita #2: Pertemuan dan perpisahan

Ketika akhir sebuah perjalanan akan menjadi awal perjalanan yang lain, dan sebuah perpisahan akan menjadi pertemuan dengan sesuatu yang baru. And that’s more about life.

Detik-detik saya meninggalkan Indonesia semakin mendekati kenyataan. 3 hari terakhir saya habiskan bersama keluarga inti saya di hotel di Jakarta, sembari terus mempersiapkan packing barang bawaan yang dibawa ke Eropa. Komunikasi saya dengan Icha, setelah pertemuan di Jakarta semakin lancar. Pada saat saya di Jakarta ini, di tengah-tengah kesibukan saya, Icha menghubungi saya. Singkat kata, ia meminta saya untuk menghubungi langsung kedua orangtuanya yang sedang berada di Pariaman.

Deg! Tentu saja ini bukan sebuah permintaan sederhana yang mudah untuk dikabulkan. Menghubungi langsung kedua orangtua seorang wanita, yang saya mempunyai keinginan kuat untuk menjalin sebuah ikatan halal dengannya, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, karena keinginan yang kuat serta keyakinan bahwa saya ‘hadir’ untuk menyampaikan maksud dengan baik, saya memberanikan diri untuk menghubungi kedua orangtua Icha.

Telpon pertama kali, berlangsung dengan sangat singkat. Saya ingat, malam itu dengan jantung yang berdetak lebih cepat daripada pelari marathon dan tangan yang berkeringat dingin, saya menyentuh layar handphone saya, mencari nomor kontak kedua orangtua Icha di antara daftar kontak, dan menekan tombol dial.

Sekian detik nada sambung tidak henti berbunyi, tanda menunggu diangkat oleh yang dihubungi. Sesaat kemudian, nada sambung itu hilang, berganti dengan suara seorang lelaki yang terdengar cukup berat namun berwibawa. Saya menarik nafas panjang, dan memulai dengan salam dan sapaan untuk mengurangi ketegangan. Satu hal yang saya sadari bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang pada malam itu berdegup jantungnya karena grogi. Bahwa lelaki di seberang telpon saya juga pastilah merasakan hal yang sama. Gugup berhadapan dengan seseorang yang bisa jadi akan menjadi pengganti dirinya sebagai seorang wali dari anak perempuannya.

Setelah bertukar salam dan sapa, dilanjutkan dengan mengobrol singkat. Singkat, dalam artian yang benar-benar singkat. Sejurus kemudian, ayah Icha mengucapkan salam dan menutup telpon. Saya terkejut, kaget, dan tidak menyangka bahwa ending dari kegugupan saya sepanjang hari selesai dalam waktu kurang dari 5 menit. Saking terkejutnya, saya hampir tidak sempat membalas salam penutup beliau. 5 detik, 10 detik saya lewati dengan bengong. Saya melihat layar handphone, waktu menunjukkan bahwa telpon saya barusan hanya berlangsung 5 menit.

Detik itu juga, setelah saya akhirnya ‘tersadarkan’ dari kebengongan saya, saya langsung panik. Apakah saya ada salah kata? Apakah salam saya salah? Atau saya salah sebut nama? Atau saya terlalu gugup dan menjawab asal? Di tengah kegugupan itu, secara tidak saya sadari saya menelpon Icha, menanyakan apakah saya ada kesalahan dan kenapa telpon diakhiri begitu cepat. Ternyata, di seberang sana dia pun keheranan mengapa percakapan malam itu begitu singkat, dan dia mentertawakan saya yang masih tidak percaya. Icha kemudian meyakinkan saya bahwa ayahnya pun malam itu sama gugupnya dengan saya, sampai-sampai tidak dapat menyusun rangkaian kata-kata, sambil kemudian meminta saya untuk menelpon lagi keesokan malamnya.

Malam berikutnya, saya sudah lebih tenang. Tidak segugup ketika pertama kali menelpon. Setelah menunggu beberapa saat karena kedua orangtua Icha sedang dalam perjalanan, saya kemudian memulai pembicaraan dengan lebih lancar dan lebih percaya diri (menurut saya), walaupun tetap yang namanya gugup tidak bisa ditutupi. Malam itu obrolan berlangsung lebih panjang, sekitar 15-20 menit, dan saya sukses berbincang dengan kedua orangtua Icha. Malam itu, saya bisa tidur lebih nyenyak dan damai, misi saya sukses.

***

Keesokan harinya adalah hari keberangkatan saya. Karena ini adalah satu-satunya kesempatan saya untuk mempertemukan Icha dengan kedua orangtua dan adik saya, maka saya ‘memaksa’ Icha untuk datang ke bandara. Siang itu, 6 September 2014, akhirnya saya bertemu kembali dengannya untuk yang ketiga kalinya. Pada mulanya, saya perkenalkan ia kepada teman-teman saya yang kebetulan sedang berada di bandara untuk mengantarkan saya dan salah seorang teman saya yang juga berangkat pada hari yang sama. Sementara itu, kedua orangtua dan adik saya masih dalam perjalanan menuju bandara.

Setelah beberapa saat, teman-teman saya pulang dan meninggalkan saya berdua dengan Icha. Karena kagok dan bingung harus berbuat apa, akhirnya saya tawarkan saja dia untuk beli minuman di salah satu kios di bandara. Di sana, kami kembali membahas dan berdiskusi tentang proposal kehidupan yang telah kami buat bersama, saling mengingatkan kembali rencana-rencana apa saja yang telah kami tulis dan susun untuk kemudian menjadi pedoman kami bersama-sama ke depannya. Saya ingat pada saat itu saya memilih duduk di meja yang kursinya bersebelahan berjarak 1 meter, bukan berhadap-hadapan. Alasannya simpel: entah kenapa saya masih tidak sanggup melihat wajahnya saat itu. Mungkin Allah menghimpun segala perasaan penasaran saya dengan malu yang teramat besar, sehingga kesuciannya sebagai seorang wanita muslimah masih terjaga dari pandangan saya yang ketika itu tentu saja belum halal. Jangankan menatap, melirik saja saya tidak sanggup.

Tak berapa lama kemudian kedua orangtua dan adik saya tiba di bandara. Di sana, saya memperkenalkan mereka kepada Icha, sambil kemudian berbincang-bincang santai sambil menunggu keberangkatan saya. Sekedar informasi, saya ‘salah’ memesan pesawat karena penerbangan yang saya minta kepada pihak sponsor beasiswa (LPDP) berangkat persis tengah malam, tanggal 7 September pukul 00.10 WIB. Padahal seharusnya saya bisa saja memesan penerbangan yang lebih sore, sehingga keluarga saya dan Icha tidak perlu menunggu saya terlalu lama di bandara.

Hari semakin larut, matahari mulai meninggalkan langit menuju peraduannya, berganti dengan keriuhan malam di bandara yang tidak pernah sepi. Karena saya khawatir Icha pulang terlampau malam, sedangkan perjalanan ke rumahnya (di Jakarta Timur) masih jauh, akhirnya saya mengantarkan Icha pulang sampai ke bus Damri. Tak pernah disangka sebelumnya, Icha memberikan saya sebuah kado dalam bentuk kotak persegi panjang berbungkus kado motif batik (kalau tidak salah), yang tentu saja saya terima dengan senang hati dan penasaran. Ternyata, isinya adalah pulpen model modern yang cuma dijual di toko-toko buku, yang biasanya dipakai oleh bos-bos perusahaan. Saya yang selama 22 tahun hanya mengenal pulpen Standard takjub melihat kado ini, dan berjanji bahwa pulpen ini hanya akan saya pakai untuk kejadian-kejadian penting saja. Terselip bersama pulpen adalah sebuah tulisan di kertas berwarna pink: “Selamat melanjutkan studi di Eropa! Sampai jumpa di bulan Januari :)”.

(Ah benar, saya lupa menceritakan bagian detail proposal. Pada awalnya, kami berdua memang merencanakan untuk melangsungkan akad dan walimah pada bulan Januari 2015. Namun, seiring berjalannya waktu rencana tersebut kemudian berubah, namun kertas bertulisan ini masih saya simpan sampai dengan sekarang.)

Malam itu, saya melihat sosok Icha perlahan menghilang di balik bus, dan muncul kembali di balik jendelanya. Saya menatap dari jauh sembari melambaikan tangan tanda perpisahan, melihat bus yang kemudian menghilang dari pandangan membawa jauh sosok Icha. Tidak ada kesedihan malam itu, saya melepasnya dengan perasaan lega. Lega, karena misi terakhir saya di Indonesia malam itu telah sukses. Lega, karena saya percaya perpisahan malam itu adalah perpisahan sementara. Perpisahan yang kemudian menjadi tonggak pertemuan-pertemuan kami selanjutnya.

Malam itu juga, saya berangkat meninggalkan tanah air menuju sebuah daratan nun jauh, tempat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya akan saya injak dan jelajahi. Perpisahan dengan keluarga kali ini adalah bagian terberat dalam kehidupan saya ketika itu, jauh lebih berat daripada ketika meninggalkan kota tempat saya tinggal untuk menimba ilmu di pulau seberang. Saya merasa pergi sangat, sangat jauh malam itu, seorang diri bersama Allah. Bendungan airmata yang sudah dibangun rapi dan tertata sejak pagi mendadak hancur tak bersisa malam itu. Saya habiskan sisa terakhir waktu saya di Indonesia dengan memeluk kedua orangtua saya, dan satu hal ‘ajaib’ yang saya rasakan malam itu: untuk pertama kalinya sejak saya mulai dewasa saya memeluk ayah saya. Erat sekali, rasanya saya tidak ingin melepaskan dan tidak rela dilepaskan. Tak hentinya kedua orangtua saya menguatkan keyakinan saya untuk berangkat, melambaikan tangan, dan melangkahkan kaki sejauh mungkin di balik kaca security check, sampai saya tidak bisa melihat sosok mereka lagi.

Bismillah, Allah bersama saya dalam petualangan baru di tanah Eropa.

Foto terakhir bersama teman-teman dan Icha di bandara Soetta
Foto terakhir bersama teman-teman kesayangan dan Icha di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta

Leave a comment